Senin, 04 Maret 2013

Mengenai 'Malam Minggu Miko'



Tentang serial komedi yang berjaya di YouTube dan kelanjutan nasibnya.
Oleh: Wening Gitomartoyo
Share :   
image
Raditya Dika dan Adriandhy. (Foto: Bayu Adhitya)
Jakarta - Fenomena itu datang mulai akhir tahun lalu. Seorang laki-laki muda bertampang lugu berlaku kikuk. Lalu seorang laki-laki muda lain yang seperti luber dengan kepercayaan diri. Mereka berdua diayomi seorang asisten rumah tangga (ART) yang polos sekaligus ambisius, yang pernah berucap ini tentang pacarnya, “Walaupun baju dari Maemunah selalu kesempitan, tapi hati saya nggak pernah sempit buat dia.” 

Malam Minggu Miko (MMM) pertama kali tayang di situs YouTube sejak 29 Agustus 2012. Episode keduanya diunggah sekitar dua minggu kemudian, masih di YouTube. Begitu episode ketiga di pertengahan Desember, serial ciptaan penulis/komedian Raditya Dika ini sudah tayang di KompasTV, mendapat jadwal mingguan, sekaligus tetap di YouTube.

Untuk gambaran, jumlah view untuk total 22 episode MMM di YouTube sampai berita ini ditulis sudah mencapai lebih dari 10 juta. Tiga hari sebelum berita ditulis, jumlah view ‘baru’ mencapai 9,2 juta, alias dalam waktu yang lumayan pendek itu ada penambahan sekitar 800 ribu view.

Pada suatu Sabtu sore, Rolling Stone mengunjungi lokasi syuting MMM yang saat itu mengambil tempat di sebuah kafe di Cikini. Hari itu adalah hari syuting terakhir MMM. Di sana, properti dan peralatan lampu sedang dipersiapkan. Raditya Dika sedang mencuri waktu untuk tidur sejenak di mobil yang diparkir di depan kafe. Ia lalu masuk dengan wajah letih. Saat bicara, suaranya terdengar agak sengau; ia sedang sakit flu. Di awal-awal bicara, ia tampak lesu. Tapi itu cepat berganti sejalan dengan ceritanya tentang MMM.

Radit, panggilan Raditya Dika, berkata bahwa semuanya berawal dari tiap menyalakan televisi, “Gue nggak menemukan apa yang ingin gue tonton.” Radit sudah menghasilkan enam buku hasil tulisan di blog-nya yang humoris sejak 2005. Film Kambing Jantan (2009) dengan sutradara Rudy Soedjarwo lahir dari tulisan-tulisan itu. Ia juga dikenal aktif di dunia stand-up comedy Indonesia, termasuk menjadi pembawa acara dan mentor program Stand-Up Comedy Indonesia di KompasTV. Kini ia menjadi juri di musim ketiga acara tersebut.

Keinginannya soal membuat serial televisi berbarengan dengan keinginan sama sekali tidak dicampuri orang lain dalam urusan kreatif. Ide dasar untuk tiap episode serialnya adalah, “It has to be simple, but not simpler.”Maka Radit yang penggemar berat Woody Allen ini merangkap banyak peran. Ia menulis cerita, mengumpulkan uang dan teman-teman, lalu berakting sebagai pemain sekaligus menjadi sutradara.

MMM bercerita tentang petualangan Miko bersama sahabatnya, Rian, di setiap malam minggu atas nama cinta. Atau gebetan. Yang hampir pasti tidak pernah kesampaian. Miko dalam pandangan Radit adalah cowok cemen yang selalu canggung, sedang Rian disetel sebagai mentor untuk Miko. Gambaran tentang betapa kompetennya Rian dalam urusan menggebet mungkin bisa diwakili oleh pernyataan yakin Rian di episode pertama, “Gue tahu semuanya soal cewek, apalagi soal deketin cewek. Karena gue... langganan… majalah Gadis.”

Berangkat dari karakter Miko, Radit membutuhkan satu karakter sebagai mentornya. “Di Star Wars atau Lord of the Rings, ada Gandalf atau Yoda. Gue bikin false mentor saja, mentor yang salah. Mentor kan menolong dan membimbing, kalau yang ini menuju ke kebinasaan, ha-ha-ha. Jadilah Rian. Sementara karakter Anca (ART) itu lahir karena ketidaksengajaan. Di episode ‘Nissa’ gue butuh pembantu, adanya Anca. Mainnya bagus dan gue tulis karakter baru, jadilah komplit bertiga,” terang Radit.

MMM kurang lebih berhasil karena ia punya tulang punggung cerita yang kuat dan masuk akal, ditambah ketajaman komedi ‘kering’ a la gaya mockumentary. Isman H. Suryaman dari tim penulis naskah MMM yang juga penggiat stand-up comedy dan peserta musim pertama Stand-Up Comedy Indonesia KompasTV menyebutnya penyampaian humor secara datar atau deadpan delivery. Baginya, hal seperti inilah yang lebih sering terjadi di kehidupan nyata, situasi yang lucu bukan karena tokoh-tokohnya berusaha melucu, melainkan karena mereka menjalaninya.

Mockumentary adalah jenis acara televisi atau film dengan cerita fiksi yang dikemas dalam gaya dokumenter. Beberapa serial bergaya ini yang paling populer adalah The Office dan Modern Family, yang beberapa tahun belakangan jadi langganan menyabet piala bergengsi Emmy dan Golden Globes sebagai serial komedi terbaik. Gaya ini dipilih oleh Radit karena menurutnya tidak merepotkan, misalnya tidak perlu memakai tripod juga membuat ilustrasi musik, alias sejalan dengan semangat do it yourself yang ia praktikkan di MMM.

Bagi Radit, MMM adalah hasil pembelajaran ia selama ini dalam menulis. Hobinya belajar komedi demi menulis dari dulu menemukan tempat praktik di komunitas stand up comedy. Ia juga belajar television writing dan menulis skenario komedi. Untuk MMM, “Modern Family is a very big influence,” kata Radit.

Dari situ ia belajar pacing atau kurang lebihnya ritme, karena “Pace MMM sangat cepat, untuk satu episode yang 12 menit rata-rata ada 30 scene. Produser mana saja pasti bunuh diri kalau begitu,” kata Radit tertawa. Juga dari Modern Family dan The Office, ia belajar underplaying, atau akting yang agak ditahan.

“Tokohnya tidak sadar bahwa situasinya lucu, penonton yang sadar. Itu rahasianya,” jelasnya. Dari Seinfeld, ia belajar bagaimana plot A dan plot B yang tampak jauh antara satu sama lain kemudian bisa bertemu di tengah-tengah.

Sebagai serial komedi dengan durasi yang cukup pendek, antara 10 sampai 12 menit (karena menurut ide awalnya, serial ini tayang di YouTube), MMM mampu menyimpan banyak peluru yang tokcer dan mengena. Ada pengamatan sosial seperti gaya menulis yang serba disingkat di ponsel (Miko: “Miranda bilang, ‘Leh mpir ga?’”/Rian: “Bergelambir gak?”) atau orang-orang yang mendadak nyeni tapi keblinger, serta humor dengantwist di ujung kalimat (Miko saat akan memperkenalkan diri pada bapak gebetannya: “Sebagai cowok sejati, gue hari ini akan kenalan sama bokapnya Luna. Ditemenin sama Rian.”).

Di MMM, kita menyaksikan karakter-karakter yang jauh meninggalkan tipikal karakter di televisi Indonesia. Apalagi MMM ditayangkan pada pukul delapan malam, dikelilingi oleh berbagai sinetron yang kebanyakan karakternya bersifat baik saja atau jahat saja, tanpa kedalaman dan sering melanggar logika. Kebalikannya, MMM menyigi tiap karakter dengan baik.

“Perumusan karakter ya sesuai dengan kaidah pembentukan karakter yang benar. Bahwa tiap karakter punya aspirasi, punya fear, punya apa yang mereka inginkan. Rian nggak hanya setipis bahwa dia orangnya sotoy, tapi dia adalah orang yang nggak pernah didengarkan orang lain,” jelas Radit.

“Miko wants-nya apa? Punya cewek. Needs-nya apa? Diterima orang. Makanya dia berteman dengan Rian. Jadi ada satu hubungan disfungsional yang terjadi dalam pola hubungan Miko dan Rian yang self-destruct buat mereka. Dan itu yang menjaga ritme plot hingga semua masuk akal. Apakah wants sama needs itu perlu kalau kita mendesain sebuah cerita atau serial televisi, mungkin nggak terpakai juga. Tapi kalau kita tahu unsur tiap karakter, karakter akan hidup, dan itu lahir lewat dialog. [Karakter] jadi tiga dimensi, jadi punya napas,” tambahnya lagi.

Kisah selengkapnya baca majalah Rolling Stone Indonesia edisi 95, Maret 2013

(RS/RS)



Hasil Rating Pembaca:
  icon_star_fullicon_star_fullicon_star_full

Rating :

icon_star_full   icon_star_fullicon_star_full   icon_star_fullicon_star_fullicon_star_full   icon_star_fullicon_star_fullicon_star_fullicon_star_full   icon_star_fullicon_star_fullicon_star_fullicon_star_fullicon_star_full    

Share: